Pertunjukan Sendratari “Napak Rawayan Sang Wali Kawin Silang versi Silang Budaya”
Karawang, arusperubahan.com – Yayasan Silang Budaya, bekerja sama dengan Kemendikbud dan Ketua Komisi X DPR RI H. Syaiful Huda akan menggelar pertunjukan sendratari Napak Rawayan Sang Wali Kawin Silang versi Silang Budaya, menampilkan kisah perjalanan Syech Quro atau Syech Hasanuddin Qurotul’ain bin Yusuf Idofi.
Pertunjukan akan dilaksanakan pada Senin, tanggal 08 Agustus 2022 Pukul 19.30 Wib yang bertempat di Pelataran Pedoman Jalan Syekh Quro Dusun Peundeuy I RT 003/008 Desa Karyamukti Kecamatan Lemahabang Karawang Jawa Barat.
Sendratari yang disuguhkan oleh para Seniman Karawang, dibantu masyarakat Desa Karyamukti, Mas Yayan Katho dari Lesbumi PWNU Jabar dan Kang Oet Rizki di bagian setting, merupakan sebuah temu kangen para pekerja seni setelah sekian tahun terhalang Covid. Selain Sendratari, pesta rakyat ini juga menampilkan beberapa tim kesenian utusan dari desa sekitar dan ditutup dengan penampilan “Topeng Pendul” kesenian khas Karawang yang sudah berusia lebih dari satu abad.
Pimpinan produksi, Aab Abdul Fatah menjelaskan, “Sebagai suguhan utama, pertunjukan Sendratari yang berdurasi sekitar satu jam ini, bercerita tentang perjalanan Sang Wali, yakni Syech Quro, yang bernama lengkap Syech Hasanuddin Qurotul’ain Bin Yusuf Idofi dalam rangka menyebarkan ahlak Islam kepada masyarakat Karawang dan sekitarnya. Terutama masyarakat yang tinggal di sekitar Pelabuhan Tanjungpura,” jelasnya.
Sebagai seorang Wali yang memiliki pandangan jauh ke depan, Sang Wali mengawinkan murid tercantiknya, Nay Subang Larang pada seorang putra mahkota Pajajaran, Raden Pamanah Rasa, yang di kemudian hari menjadi Raja Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja atau lebih dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi. Lewat perkawinan tersebut, kawin pula ajaran Islam dengan Pikukuh Sunda yang dianut masyarakat Pajajaran.
Perkawinan Silang antara Islam dan Pikukuh Sunda berlangsung tanpa hambatan. Seperti umumnya perkawinan, tentu satu sama lain saling mempengaruhi, begitu pula pada kebudayaan masyarakat Sunda pada saat itu. Penyebutan Sang Hyang Taya menjadi Alloh, adalah pengaruh dari Islam yang masuk pada budaya Sunda, ibadah sholat menjadi sambehyang atau sembahyang, adalah pengaruh Sunda yang masuk pada Islam.
Dari perkawinan silang ini lahirlah Islam yang khas, Islam yang memiliki warna tersendiri, yang sekarang sering disebut sebagai Islam Nusantara. Sebuah Kebudayaan Islam yang sudah mendarah daging dalam diri masyarakat Nusantara, selama ratusan tahun yang secara komunal berbeda dengan budaya Islam Arab.
Peristiwa masa lalu yang diangkat ke panggung, dengan bahan-bahan cerita terbatas, yang dipungut dari tradisi lisan yang sudah tersebar selama ratusan tahun, tentu memiliki berbagai versi. Tetapi ketidak-tepatan sejarah tersebut, bukan sebuah ruang terbuka untuk dibahas. Karena pertunjukan ini tidak sedang membahas detail sejarah. Tetapi berusaha membumikan kembali semangat, “silih asih silih asah-silih asuh dan silih wangikeun”.
“Semangat pikukuh lama dengan nilai-nilai luhur yang sudah menjadi jalan hidup masyarakat, dipadu-padankan dengan semangat kekinian yang bangkit setelah terhantam wabah. Perkawinan semangat inilah, yang hendak diangkat dalam pertunjukan tersebut,” ungkap Abah Sarjang Selaku Penulis Naskah dan sekaligus Sutradara.
Perkawinan indah adalah perkawinan yang direstui bumi dan langit. Dengan penuh pengharapan kami berdoa, semoga “Perkawinan Silang” ini direstui bumi dan langit.